Ramadhan adalah
nama dari salah satu nama bulan pada bilangan kalender Arab, penamaan Ramadhan
memiliki makna dan hanya kosa kata milik bangsa atau budaya Arabian. Ramadhan berasal
dari akar kata رمﺿ, yang berarti panas atau terik. Segala sesuatu pada Bulan
tersebut bisa menjadi sangat-sangat membakar, seperti bebatuan, pepohonan dan
lainnya, sudah tentu resiko di bulan ini airpun menjadi sangat terbatas bahkan
kekeringan. Inilah kondisi pada masa itu, dimana sikon Ramadhan ataupun bulan kesembilan yang selalu jatuh
pada musim panas ini hanya terjadi di Jazirah Arab bukan diwilayah lain
termasuk Indonesia, ini jika dihubungkan hanya dengan bulan Ramadhan secara
situasi dan kondisinya saja. Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis
bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari,
bulan Ramadhan tak lagi selalu bertepatan dengan sikon seperti Sunnah pada masa
Nabi yaitu panas yang sangat menyengat yang tentu sangat terujinya mental
seseorang yang melakukan aktivitas pada bulan tersebut. Coba lihat situasi alam
khususnya Indonesia, bila Ramadhan tiba, seiring itu pula hujanpun turun,
seiring itu juga kondisi menjadi basah dan tanaman serta air berkecukupan.
Dimana samanya dengan kondisi dipadang pasir yang sehari-harinya saja sudah
panas dan penuh ujian. Lantas bila Sunnah secara situasinonalnya sudah tidak
sama, sudah tak bisa dirasakan, maka tinggallah kondisi dalam ataupun Sunnah
perilaku Nabi pada saat bulan tersebut yang bisa umat lakukan pada saat ini.
Coba lihat juga kondisi umat bila tiba saat Ramadhan, coba lihat harga-harga
barang pada naik, sementara Sunnahnya menurun, diturunkan atau diredam dan
memang itulah makna sebenarnya dari Shaum/Shiyam. Sementara umat saat ini sudah
bergesar jauh dari yang semestinya. Lantas mau hikmah yang mana lagi yang ingin
diambil?, mau uswah yang mana dari yang dilakukan Nabi akan kita tiru?, bila
yang paling sederhananya(Situasional) saja sudah terabaikan, atau sengaja
diabaikan, maka kondisional bathin atau substansialah yang bisa diakuisisi oleh
umat saat ini. Saat ini Ramadhan hanyalah sebuah kiasan hanyalah sebuah ritual
tanpa bersinggungan langsung dengan situasi panas seperti di Arab, seperti
Sunnahnya para Nabi. Jika umat Islam di Indonesia atau di Negara lain melakukan
aktivitas seperti layaknya Sunnah, pasti akan merefleksi kepada hidup invidual
seorang makhluk yang kenal akan maksud dan tujuan Sang Kholik, serta mengetahui
untuk apa dan mengapa kita diperintahkan shiyam selayaknya mereka yang telah
diakui, mereka yang telah terakreditasi oleh Allah. Jika pemahaman umat saat
ini hanya terfokus kepada bentuk-bentuk luarnya saja, bentuk-bentuk syari’ah
yang sebenarnya bisa sangat berbeda-beda, maka sudah tentu hanya peringatan
demi peringatan bak hari hari lain, bak bulan dan perayaan-perayaan lain.
Apalagi orientasinya hanya memperingati, tak memiliki ilmu, tak mengetahui
Sunnah dan tak mau bertanya kepada diri untuk apa dan mau apa. Maka sudah bisa
dipastikan nilai yang didapat sangat terbatas bahkan tak mendapat nilai sama
sekali. Jika sebentar lagi seluruh umat Islam sedunia memperingatinya hanya
orientasi sebatas penjelasan diatas tersebut, maka sudah bisa dipastikan akan
kembali pada titik jenuh, titik buntu dan tak mungkin bisa ketemu, ibarat kata
Kau disana Aku disini, gimana mau jumpa, gimana bisa bertemu dan bisa saling
mengenal. 1400 lebih sudah Sang Hatama Nabiyin berlalu, masihkah mungkin umat
saat ini merujuk kepadanya?, masihkah umat Islam bepegang teguh kepada
ajarannya?, secara teori seluruh kita pasti menjawab Masih!, Tentu!, kan Sang Hataman Nabiyin
adalah junjungan kita, inilah jawaban klise yang selalu keluar dari mulut-mulut
manusia tak berilmu. Emang Nabi pernah minta dijunjung?, Kalaulah alasan umat
saat ini memuji beliau karena Allah dan Para
malaikat saja memuji, masak sih kita tidak memuji?, inilah alasan yang paling
sering dijadikan sandaran. Allah dan Malaikat memang pantas memberikan Salawat untuk
Nabi, bukan manusia yang tak berilmu dan kotor seperti kita, tobat dan
bersihkan dulu diri ini. Secara logikanya saja yang menuji anda seorang
pencopet, apakah pujian tersebut anda terima?, yang memberikan anda gelar
adalah orang-orang yang tak lulus uji, tak berkualitas, apakah anda masih akan
menerimanya?, atau pujian tersebut sebenarnya malah menjatuhkan, mendegradasikan
yang sebenarnya sudah pantas terpuji. Emang kapan elu-elu pade pernah ketemu
dengannya?, ngaku-ngaku umatnya, tak tahu malu, wong mereka yang langsung
dibina Nabi saja(Anshor Muhajirin dan para Sahabat) tak berani mengatakan hal
seperti yang dikatakan umat Islam saat ini. Tak berani menjamin apakah kualitas,
kuantitas iman dan keyakinan mereka akan sama seperti saat masih ada atau
hidupnya Nabi Muhammad, apalagi kita, apalagi umat secara keseluruhan, jarak
saja sudah menjadi pembatas, waktu dan kondisi sudah menjadi perbedaan. Masih
juga melakukan aktivitas tanpa mengilmui? Masih juga membandel dengan isme-isme
kebudayaan dan keyakinan nenek moyang? Dan pribadi?. Seakan-akan kita masih
sejalan dengan umat para Nabi?, lebih baik sadar walau malu dan sakit,
ketimbang tertipu dan terjebak(Zhulumat) pada sesuatu yang sebenarnya buntu
bahkan menuju kehancuran. Tak ada guna melakukan semua aktivitas tanpa
mengilmunya(Q.S 4:43: Hai kalian yang beriman, jgnlah kalian dekati
Sholat jika kalian dlm keadaan sakarat/mabuk/terombang-ambing, maka ilmuilah
dulu apa yg kalian lakukan). Dari ayat ini bisa disimpulkan ilmu
menjadi faktor utama dalam melakukan aktivitas, sebab jika tidak di-ilmui nanti
akan menjadi budaya, akan menjadi ritual-ritual bak dunia saat ini yang memang kehidupan
ala Jahiliyah, hanya bersenang-senang tanpa akhir layaknya mereka sudah berada
di Jannah. Jangan sampai segala sesuatu yang kita lakukan terjebak dan tertipu
oleh fatamorgana nilai-nilai duniawiah(Q.S 57:20: Ilmuilah olehmu, bahwa
kehidupan dunia ini hanya permainan dan membuat lalai, perhiasan hidup dan glamorlah
yang kau banggakan, padahal kehidupan dunia ini adalah mata’ul ghurur/fatamorgana).
Tidak cukup niat baik saja dijadikan acuan, tak cukup kemauan, keinginan, tanpa
ada ilmu, tanpa ada bukti dan observasi terlebih dahulu terhadap segala sesuatu
yang akan kita kerjakan. Kembalilah kepada yang pernah dinuzulkan Allah kepada
Nabi-Nya dibulan tersebut, Kitabullah, Ummul Kitab. Ahsanal
Hadits adalah Al Qur’an. Tulisan
ini sekedar memuqadimaih hari atau bulan yang sebentar lagi tiba yaitu
Ramadhan.
Salam untuk yang mau sadar dan mengilmui
segala sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar