IDEOLOGI
KETUHANAN
Sebelum masuk pada tema atau pokok bahasan perlu
penulis menggaris bawahi kata yang dipakai dalam judul atau topicalisasi:
Ideologi yang menjadi Premis dasar pemikiran atau landasan untuk
mengambil kesimpulan/pemahaman. Mengapa penulis lebih memilih kata Ideologi
ketimbang Konsep?. Sebab hal yang dibicarakan menyangkut substansial/metafisik
yaitu Tuhan. Tentu tidak relevan bila menggunakan kata konsep, sebab konsep
yang tadinya hanya boleh atau milik sesuatu yang berhubungan dengan material/fisik.
Seperti lazimnya ketika kita ingin mendirikan atau membentuk sebuah
bangunan maka kata konsep yang diperlukan ataupun yang tepat dalam pemakaian.
Biasanya kata konsep dipakai ketika ada perencanaan atau kerjaan.
Kita tidak sedang mengerjai Tuhan, kita tidak lagi
merancang dan merencanakan Tuhan. Oleh sebab itu penulis lebih memilih kata
Ideologi yang tepat untuk digunakan dalam bahasan ini.
Bila kita bicara atau membahas yang menyangkut dan berhubungan
dengan Ketuhanan maka tidak bisa dilepas dari dasar pemikiran atau
landasan awal dalam mengambil sebuah kesimpulan: Pertama yang perlu dijadikan
acuan adalah manusia, keberadaannya atau law of nature, kemudian
Tuhan sebagai objek bahasan yang wujud dan zat-Nya berbeda dengan apa dan
siapapun, yang nantinya dasar pemikiran atau premis tersebut haruslah bisa
dibuktikan setidaknya mendekati atau tidak melanggar aturan yang ada. Kata
mendekati ini penulis menggunakannya sebab yang akan dibahas adalah sesuatu
yang diluar jangkauan dan tak terbatas oleh pemikiran manusia,
itulah sebabnya kata mendekati saya pakai, namun juga perlu untuk digaris
bawahi dengan tidak keluar dari aturan maksudnya adalah keterkaitan atau
relevansi manusia dengan keadaannya atau alam semesta. Kita ambil sebuat plot
untuk memulai: “Wujud, Esensi dan Keberadaan sesuatu,
seperti contoh “Wujud manusia tidak berubah menjadi monyet, atau sebaliknya”.
Langit berubah menjadi bumi. Wujud manusia atau kesempurnaan wujud tentu
membutuhkan prosesnya masing-masing namun tidak lari dari aturan atau porsi
seperti ulat berubah menjadi kepompong kesempurnaan wujudnya
adalah kupu-kupu, bukan burung. Larva berubah menjadi Nyamuk
bukan Ayam, sebab memang itulah proses kupu-kupu dan nyamuk tentu
berbeda dengan proses manusia. Inilah yang saya sebut tidak bertentangan dengan
aturan, keberadaan atau law of nature. Maka semua aturan ini yang
melandasi pemikiran awal seorang manusia ketika dia ingin mengenal dan memahami
Tuhannya. Ketika kita tidak melandasi pemikiran kita tentu akan sangat-sangat
berpotensi keluar dan lari dari aturan/porsi yang sedang dibahas. Seperti
contoh kalimat yang keluar dari dasar pemikiran: “Tidak ada
habis-habisnya” “Tidak akan pernah selesai”. Ini kalimat
terpaksa dikeluarkan sebab sudah melebar atau meluas dan lari dari aturan atau
sudah melanggar empiris dan logika berfikir,. Sementara kehidupan punya ruang
demi membatasi segala sesuatu yang berada didalam ruangan tersebut. Maka tidak
perlu dan memang tidak berguna mengeluarkan kalimat “Tidak ada
habis-habisnya” “Tidak akan pernah selesai” sementara kita mau dan
sepakat harus menyelesaikan setidaknya menuntaskan sesuatu yang menjadi
ganjalan, pertanyaan dan persoalan dalam setiap kehidupan yang kita lalui
apapun itu. Ini sering terjadi dalam kehidupan manusia disebabkan sesuatu hal
tersebut sudah tak lagi bisa dicerna dan dimengerti oleh setiap individu.
Keterpaksaan dan Dogmalah yang akhirnya bicara ketika segala sesuatu keluar
dari aturan dan empiris. Lagi-lagi tidak porsional dan proporsional, konon kita
sebagai manusia mengatakan lebih baik dari “animal”. Maka dimana lagi
bedanya manusia dengan binatang ketika semuanya menjadikan cara dan jalan an’aam
sebagai landasan kehidupan manusia, apalagi sampai tak berfikir selayaknya
manusia yang memiliki daya nalar dan pemikiran bahkan kesadaran
(shudur) diatas rata-rata makhluk lainnya. Bebas adalah kodrat
binatang (an’aam) bukan manusia (naas), bebas tidak mungkin
andaipun kita memaksa untuk digunakan kedalam kehidupan (banyak contoh
akibat saking bebasnya). Freedom hanyalah milik Bangsa yang manusianya
adalah makhluk bermoral. Freedom bila dikatakan kebebasan harus
ada lanjutannya tidak bisa berhenti, bebas dari kemiskinan,
bebas dari keterjajahan, bebas dari keterpaksaan, bukan
bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan. Jangan dilepaskan teks
dan konteks dalam setiap kalimat dan perkataan maupun pokok pembahasan.
Ketika kita keluar dan lari dari aturan maka, batal dan tak layak dikatakan
manusia apalagi untuk membicarakan dan membahas Tuhan. Kita sering
melihat dan mendengar forum diskusi digelar mulai dari pembahasan seputar
Keagamaan sampai Ketuhanan, namun semuanya tidak mengarah pada satu titik
karena’ memang bukan untuk bermaksud menyatukan titik-titik tersebut, apalagi
sampai menyamakan ideologi, walaupun diskusi sebenarnya bisa menemukan
titik bahkan bisa menyatukan ideologi andai kita semua berani menerima dengan
lapang dada jujur tanpa meronta. Setiap kita pasti merasa memiliki prinsip
dan cara berfikir, namun bukan berarti sesuka dan semau kita untuk berfikir,
ada syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi, ada step dan proses yang mesti
dilewati untuk fikiran tersebut bisa menjadi prinsip dan pemahaman. Tidak guna
adu argument atau berdebat dengan bermain kata-kata menutupi kesalahan dan
membutakan hati hingga melupakan empiris berperan penting dalam diskusi
tersebut. Selayaknya setiap individu bertanya pada dirinya apa hal yang akan dibahas dan yang akan menjadi
topikalisasi, sebelum mengambil dan memutuskan, sebelum menjadi prinsip dan
keyakinan agar tidak ada keragu-raguan yang membuat bingung dan tersesat. Saya
akan ambil sebuah contoh sebelum Tuhan dijadikan pembahasan/topikalisasi. Saya
mulai dari: “Siapakah Tuhan” “Mengapa dikatakan Tuhan”
“Apa dan bagaimana Tuhan”. Jawabanya jangan pernah keluar
atau melebar dari aturan pembahasan. Ideologi Ketuhanan bukanlah Ideologi kemakhlukan
dan bukan jawaban yang menimbulkan pertanyaan. Jawaban tegas, jelas,
lugas bahkan tuntas sesuai subjectnya, tidak menambah dan mengurangi.
Tuhan adalah.....(versi penulis subject Yang Me…) bukan yang di….
Titik-titik tersebut saya contohkan dengan cipta, kuasa, awal akhir. Dan ketika
Tuhan kita katakan atau simpulkan sebagai object yang dicipta, bisakah? Atau
adilkah? dan benarkah? jawaban kembali pada syarat dan aturan yang sesuai
porsi-Nya, yang sesuai keberadaan-Nya dan law of nature sesuai contoh-contoh
diatas tanpa melanggar batas dan ketentuan, jangan di ada-adakan, tak perlu
untuk disastra-sastrakan, juga bukan konsep hayalan bak negri dongeng yang tak
pernah ada, bukan gambaran bak Superman si-manusia terbang hanya terjadi dalam
dunia permainan anak-anak. Ingat topiknya adalah Tuhan Yang Maha bukan
seperti maha-maha hayalan yang tak pernah terbukti empiris dan nyaris membuat
manusia terkesima dan terpana yang mematikan potensi akal. Analogi boleh dibuat
namun bukan Analogi menurut mau dan ego manusia. Konsep silahkan buat namun
tidak melanggar aturan yang ada (law of nature). Keterbatasan pasti menyertai
namun bukan menjadi alasan untuk menerima bukti dan sejarah bahkan fakta
keberadaan lewat gugusan alam semesta yang kesemua tersusun rapi, sesuai,
selaras dan sejalan pada poros, tempat, waktu
yang semua kita melihatnya dan merasakan segala sesuatu yang telah Dia
ciptakan. Pada hakikatnya Tuhan telah memberikan kemudahan kepada manusia agar
bisa memahami keberadaan-Nya dengan benar, sebab apabila ideologi dalam
memahami hakikat Sang Pencipta sampai salah maka akan merugikan diri kita
sendiri. Dari sejak hadirnya Adam kemuka bumi seiring itu pula Dia telah
memberikan bekal pada setiap individu untuk mau memperdayakan potensi secara
lebih objektif dan mendalam sesuai dengan ketetapan-Nya agar manusia selalu
selaras dengan fisik dan substansinya, keselarasan inipun tetap terikat dengan law
of the universe. Ketika manusia dan semua peralatan canggihnya tak mampu
membuktikan bukan berarti sesuatu yang diriset tidak ada bak bulan sebelum dan
sesudah ditemukan dan diriset oleh mereka yang pernah kesana. Jangan nafikan
keberadaan sesuatu dikarenakan keterbatasan dan kebandelan manusia untuk bisa
menerima dan menjawab apapun yang ingin diketahui. Semua sudah ada, semua telah
tersedia, semua tinggal manusia menjalankan dan memerankan sesuai
porsi diri dan keberadaannya sebagai makhluk layaknya makhluk yang lain,
semua yang ingin diketahui tetap ada disana terbentang luas dan masih banyak
menyimpan misteri, namun tak seluas isi di-dalam diri manusia jika saja
manusia mau menggunakan aqal dan daya nalar untuk bisa menyentuh qolbi
wadah tersimpannya pemahaman agar menjadi keyakinan yang kuat dan tak
terbantahkan. Semua ini baru bisa dikatakan Ideology dan Hujjah.
Jika semua penjelasan diatas tersebut sudah dimengerti dan terpahami sesuai
tempat, waktu dan system yang ada, sebenarnya siapapun pasti bisa mengambil
kesimpulan yang sama, yang memberi pengertian untuk sebuah jawaban yang tepat,
jelas lagi kokoh bak gunung yang menjulang kelangit menghunjam kedasar perut
bumi. Salam bagi kita yang mau menyadari dan menghidupkan potensi aqal demi
menyirami wadah yang gersang agar kembali kepada fitrah sebagai makhluk
ciptaan Al-Fathir.
NB: Jika pembaca marasa kesulitan memahami tulisan ini,
sebaiknya coba baca tulisan saya sebelumnya yang berjudul Asal Usul
اللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُور
Author by Fardhie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar